D. Peranan Umat Islam dalam Mengusir Penjajah.
Ketika kaum penjajah datang, Islam sudah mengakar dalam hati bangsa
Indonesia, bahkan saat itu sudah berdiri beberapa kerajaan Islam,
seperti Samudra Pasai, Perlak, Demak dan lain-lain. Jauh sebelum mereka
datang, umat Islam Indonesia sudah memiliki identitas bendera dan
warnanya adalah merah putih. Ini terinspirasi oleh bendera Rasulullah
saw. yang juga berwarna merah dan putih. Rasulullah saw pernah bersabda
:” Allah telah menundukkan pada dunia, timur dan barat. Aku diberi pula
warna yang sangat indah, yakni Al-Ahmar dan Al-Abyadl, merah dan putih
“. Begitu juga dengan bahasa Indonesia. Tidak akan bangsa ini mempunyai
bahasa Indonesia kecuali ketika ulama menjadikan bahasa ini bahasa
pasar, lalu menjadi bahasa ilmu dan menjadi bahasa jurnalistik.
Beberapa ajaran Islam seperti jihad, membela yang tertindas, mencintai
tanah air dan membasmi kezaliman adalah faktor terpenting dalam
membangkitkan semangat melawan penjajah. Bisa dikatakan bahwa hampir
semua tokoh pergerakan, termasuk yang berlabel nasionalis radikal
sekalipun sebenarnya terinspirasi dari ruh ajaran Islam. Sebagai bukti
misalnya Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) tadinya berasal dari
Sarekat Islam (SI); Soekarno sendiri pernah jadi guru Muhammadiyah dan
pernah nyantri dibawah bimbingan Tjokroaminoto bersama S.M Kartosuwiryo
yang kelak dicap sebagai pemberontak DI/TII; RA Kartini juga
sebenarnya bukanlah seorang yang hanya memperjuangkan emansipasi
wanita. Ia seorang pejuang Islam yang sedang dalam perjalanan menuju
Islam yang kaaffah. Ketika sedang mencetuskan ide-idenya, ia sedang
beralih dari kegelapan (jahiliyah) kepada cahaya terang (Islam) atau
minaz-zulumati ilannur (habis gelap terbitlah terang). Patimura seorang
pahlawan yang diklaim sebagai seorang Nasrani sebenarnya dia adalah
seorang Islam yang taat. Tulisan tentang Thomas Mattulessy hanyalah
omong kosong. Tokoh Thomas Mattulessy yang ada adalah Kapten Ahmad
Lussy atau Mat Lussy, seorang muslim yang memimpin perjuangan rakyat
Maluku melawan penjajah. Demikian pula Sisingamangaraja XII menurut
fakta sejarah adalah seorang muslim.
Semangat jihad yang dikumandangkan para pahlawan semakin terbakar ketika
para penjajah berusaha menyebarkan agama Nasrani kepada bangsa
Indonesia yang mayoritas sudah beragama Islam yang tentu saja dengan
cara-cara yang berbeda dengan ketika Islam datang dan diterima oleh
mereka, bahwa Islam tersebar dan dianut oleh mereka dengan jalan damai
dan persuasif yakni lewat jalur perdagangan dan pergaulan yang mulia
bahkan wali sanga menyebarkannya lewat seni dan budaya. Para da’i Islam
sangat paham dan menyadari akan kewajiban menyebarkan Islam kepada orang
lain, tapi juga mereka sangat paham bahwa tugasnya hanya sekedar
menyampaikan. Hal ini sesuai dengan Q.S. Yasin ayat 17 :”Tidak ada
kewajiban bagi kami hanyalah penyampai (Islam) yang nyata”. (Q.S. Yasin :
17)
Di bawah ini hanya sebagian kecil contoh atau bukti sejarah perjuangan umat Islam Indonesia dalam mengusir penjajah.
1. Penjajah Portugis
Kaum penjajah yang mula-mula datang ke Nusantara ialah Portugis dengan
semboyan Gold (tambang emas), Glory (kemulyaan, keagungan), dan Gospel
(penyebaran agama Nasrani).
Untuk menjalankan misinya itu Portugis berusaha dengan menghalalkan
semua cara. Apalagi saat itu mereka masih menyimpan dendamnya terhadap
bangsa Timur (Islam) setelah usai Perang Salib . Dengan modal restu
sakti dari Paus Alexander VI dalam suatu dokumen bersejarah yang
terkenal dengan nama “Perjanjian Tordesillas” yang berisi, bahwa
kekuasaan di dunia diserahkan kepada dua rumpun bangsa: Spanyol dan
Portugis. Dunia sebelah barat menjadi milik Spanyol dan sebelah timur
termasuk Indonesia menjadi milik Portugis.
Karena itu Portugis sangat bernafsu untuk menguasai negeri Zamrud
Katulistiwa yang penuh dengan rempah-rempah yang menggiurkan. Pertama
mereka menyerang Malaka dan menguasainya (1511 M), kemudian Samudra
Pasai tahun 1521 M. Mulailah mereka mengusik ketenangan berniaga di
perairan nusantra yang saat itu banyak para pedagang muslim dari Arab.
Demikian pula para pedagang dari Demak dan Malaka yang saat itu sudah
terjalin sangat erat. Portugis nampaknya sengaja ingin mematahkan
hubungan Demak dan Malaka, dan sekaligus tujuannya ingin merebut
rempah-rempah yang merupakan komoditi penting saat itu. Banyak
kapal-kapal mereka dirampas oleh Portugis termasuk kapal pedagang muslim
Arab.
Dengan sikapnya yang tak bersahabat dan arogan dari penjajah Portugis,
seluruh kerajaan yang ada di Nusantara kemudian melakukan perlawanan
kepada Portugis meskipun dalam waktu dan tempat yang berlainan. Kerajaan
Aceh misalnya sempat minta bantuan kerajaan Usmani di Turki dan
negara-negara Islam lain di Nusantara, sehingga dapat membangun kekuatan
angkatan perangnya dan dapat menahan serangan Portugis. Demikian pula,
mendengar perlakuan Portugis yang zalim terhadap para pedagang warga
Demak muslim, Sultan Demak dan para wali merasa terpanggil untuk
berjihad. Halus dihadapi dengan halus, keras dilawan dengan keras. Kalau
orang-orang Portugis mengobarkan semangat Perang Salib, maka Sultan
Demak dan para wali mengobarkan semangat jihad Perang Sabil.
Pada tahun 1512 Demak dibawah pimpinan Adipati Yunus memimpin sendiri
armada lautnya menyerang Portugis yang saat itu sudah menguasai Malaka,
tapi kali ini mengalami kegagalan karena persenjataan lawan begitu
tangguh penyerangan kedua kalinya dilakukan tahun 1521 dengan
mengerahkan armada yang berkekuatan 100 buah kapal dan dibantu oleh
balatentara Aceh dan Sultan Malaka yang telah terusir, yang sasarannya
sama yaitu mengusir pasukan asing Portugis dari wilayah Nusantara demi
mengamankan jalur niaga dan dakwah yang memanjang dari Malaka-Demak dan
Maluku. Namun perjuangannya tidak berhasil pula, bahkan ia gugur mati
syahid dalam pertempuran tersebut. Sebab itulah ia mendapat gelar
”Pangeran sabrang lor” artinya pangeran yang menyebrangi lautan di
sebelah utara.
Sepeninggal Adipati Yunus, perlawanan terhadap Portugis diteruskan oleh
Sultan Trenggana (1521-1546) dan juga oleh putranya Sultan Prawoto.
Meskipun pada masa Sultan Prawoto negara dalam keadaan goncang karena
perseteruan dalam negeri tapi kekuatan perang untuk melawan dan
mempertahankan diri dari serangan Portugis masih terus digalang.
Diberitakan, bahwa saat itu Demak masih sanggup membangun kekuatan
militernya terutama angkatan lautnya yang terdiri dari 1000 kapal-kapal
layar yang dipersenjatai. Setiap kapal itu mampu memuat 400 prajurit
masing-masing mempunyai tugas pengamanan wilayah Nusantara dari serangan
Portugis.
Kalau perlawanan umat Islam terhadap penjajah Portugis di Malaka
mengalami kegagalan, namun terhadap penjajah Portugis di Sunda Kelapa
(Jakarta) dan Maluku memperoleh hasil yang gemilang. Adalah panglima
Fatahillah (menantu Sultan Syarif Hidayatullah) pada tahun 1526 M.
memimpin pasukan Demak menyerang Portugis di Sunda Kelapa lewat jalur
laut. Mereka berhasil mengepung dan merebutnya dari tangan penjajah
Portugis, kemudian diganti namanya menjadi Fathan Mubina diambil dari
Quran Surat al-Fath ayat satu. Fathan Mubina diterjemahkan menjadi
Jayakarta (Jakarta). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M,
yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta.
Di Maluku, Portugis menghasut dan mengadu domba kerajaan Islam Ternate
dan Tidore. Namun kemudian rakyat Ternate sadar, sehingga mereka dibawah
pimpinan Sultan Haerun berbalik melawan Portugis. Nampaknya yang
menjadi persoalan bukan hanya faktor perdagangan atau ekonomi, tapi juga
persoalan penyebaran agama oleh Portugis. Kristenisasi secara
besar-besaran terutama pada tahun 1546 dilakukan oleh seorang utusan
Gereja Katolik Roma Fransiscus Xaverius dengan sangat ekstrimnya
ditengah-tengah penduduk muslim dan di depan mata seorang Sultan Ternate
yang sangat saleh, tentu saja membuat rakyat marah dan bangkit melawan
Portugis. Lebih marah lagi ketika Sultan Haerun dibunuh secara licik
oleh Portugis pada tahun 1570. Rakyat Ternate terus melanjutkan
perjuangannya melawan Portugis dibawah pimpinan Babullah, putra Sultan
Haerun selama empat tahun mereka berperang melawan Portugis, dan
Alhamdulillah berhasil mengusir penjajah Portugis dari Maluku
2. Penjajah Belanda
Belanda pertama kali datang ke Indonesia tahun 1596 berlabuh di Banten
dibawah pimpinan Cornelis de Houtman, dilanjutkan oleh Jan Pieterszoon
Coen menduduki Jakarta pada tanggal 30 Mei 1619 serta mengganti nama
Jakarta menjadi Batavia. Tujuannya sama dengan penjajah Portugis, yaitu
untuk memonopoli perdagangan dan menanamkan kekuasaan terhadap
kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara. Jika Portugis menyebarkan agama
Katolik maka Belanda menyebarkan agama Protestan. Betapa berat
penderitaan kaum muslimin semasa penjajahan Belanda selama kurang lebih
3,5 abad. Penindasan, adu domba (Devide et Impera), pengerukan kekayaan
alam sebanyak-banyaknya dan membiarkan rakyat Indonesia dalam keadaan
miskin dan terbelakang adalah kondisi yang dialami saat itu. Maka
wajarlah jika seluruh umat Islam Indonesia bangkit dibawah pimpinan para
ulama dan santri di berbagai pelosok tanah air, dengan persenjataan
yang sederhana: bambu runjing, tombak dan golok. Namun mereka bertempur
habis-habisan melawan orang-orang kafir Belanda dengan niat yang sama,
yaitu berjihad fi sabi lillah. Hanya satu pilihan mereka : Hidup mulia
atau mati Syahid. Maka pantaslah almarhum Dr. Setia Budi (1879-1952)
mengungkapkan dalam salah satu ceramahnya di Jogya menjelang akhir
hayatnya antara lain mengatakan : “Jika tidak karena pengaruh dan
didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan
sehebat seperti apa yang diperlihatkan oleh sejarahnya sampai
kemerdekaannya”.
Sejarah telah mencatat sederetan pahlawan Islam Indonesia dalam melawan
Belanda yang sebagian besar adalah para Ulama atau para kyai antara lain
:
Di Pulau Jawa misalnya Sultan Ageng Tirtayasa, Kiyai Tapa dan Bagus
Buang dari kesultanan Banten, Sultan Agung dari Mataram dan Pangeran
Diponegoro dari Jogjakarta memimpin perang Diponegoro dari tahun
1825-1830 bersama panglima lainnya seperti Basah Marto Negoro, Kyai Imam
Misbah, Kyai Badaruddin, Raden Mas Juned, dan Raden Mas Rajab. Konon
dalam perang Diponegoro ini sekitar 200 ribu rakyat dan prajurit
Diponegoro yang syahid, dari pihak musuh tewas sekitar 8000 orang
serdadu bangsa Eropa dan 7000 orang serdadu bangsa Pribumi. Dari Jawa
Barat misalnya Apan Ba Sa’amah dan Muhammad Idris (memimpin perlawanan
terhadap Belanda sekitar tahun 1886 di daerah Ciomas)
Di pulau Sumatra tercatat nama-nama : Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku
Tambusi (Memimpin perang Padri tahun 1833-1837), Dari kesultanan Aceh
misalnya : Teuku Syeikh Muhammad Saman atau yang dikenal Teuku Cik
Ditiro, Panglima Polim, Panglima Ibrahim, Teuku Umar dan istrinya Cut
Nyak Dien, Habib Abdul Rahman, Imam Leungbatan, Sultan Alaudin Muhammad
Daud Syah, dan lain-lain.
Di Kalimantan Selatan, rakyat muslim bergerak melawan penjajah kafir
Belanda yang terkenal dengan perang Banjar, dibawah pimpinan Pangeran
Antasari yang didukung dan dilanjutkan oleh para mujahid lainnya
seperti pangeran Hidayat, Sultan Muhammad Seman (Putra pangeran
Antasari), Demang Leman dari Martapura, Temanggung Surapati dari Muara
Teweh, Temanggung Antaludin dari Kandangan, Temanggung Abdul jalil dari
Amuntai, Temanggung Naro dari buruh Bahino, Panglima Batur dari Muara
Bahan, Penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Haji Bayasin, Temanggung Macan
Negara, dan lain-lain. Dalam perang Banjar ini sekitar 3000 serdadu
Belanda tewas.
Di Maluku Umat Islam bergerak juga dibawah pimpinan Sultan Jamaluddin,
Pangeran Neuku dan Said dari kesultanan Ternate dan Tidore.
Di Sulawesi Selatan terkenal pahlawan Islam Indonesia seperti Sultan Hasanuddin dan Lamadu Kelleng yang bergelar Arung Palaka.
Sederetan Mujahid-mujahid lain disetiap pelosok tanah air yang belum
diangkat namanya atau dicatat dalam buku sejarah adalah lebih banyak
dari pada yang telah dikenal atau sudah tercatat dalam buku-buku
sejarah. Mereka sengaja tidak mau dikenal, khawatir akan mengurangi
keikhlasannya di hadapan Allah. Sebab mereka telah betul-betul berjihad
dengan tulus demi menegakkan dan membela Islam di tanah air.
3. Penjajahan Jepang
Pendudukan Jepang di Indonesia diawali di kota Tarakan pada tanggal 10
januari 1942. Selanjutnya Minahasa, Balik Papan, Pontianak, Makasar,
Banjarmasin, Palembang dan Bali. Kota Jakarta berhasil diduduki tanggal 5
Maret 1942.
Untuk sementara penjajah Belanda hengkang dari bumi Indonesia, diganti
oleh penjajah Jepang. Ibarat pepatah “Lepas dari mulut harimau jatuh ke
mulut buaya”, yang ternyata penjajah Jepang lebih kejam dari penjajah
manapun yang pernah menduduki Indonesia. Seluruh kekayaan alam dikuras
habis dibawa ke negerinya. Bangsa Indonesia dikerja paksakan (Romusa)
dengan ancaman siksaan yang mengerikan seperti dicambuk, dicabuti
kukunya dengan tang, dimasukkan kedalam sumur, para wanita diculik dan
dijadikan pemuas nafsu sex tentara Jepang (Geisha).
Pada awalnya Jepang membujuk rayu bangsa Indonesia dengan mengklaim
dirinya sebagai saudara tua Bangsa Indonesia (ingat gerakan 3 A yaitu
Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Pemimpin Asia).
Mereka juga paham bahwa bangsa Indonesia kebanyakan beragama Islam.
Karena itu pada tanggal 13 Juli 1942 mereka mencoba menghidupkan kembali
Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang telah terbentuk pada
pemerintahan Belanda (September 1937). Tapi upaya Jepang tidak banyak
ditanggapi oleh tokoh-tokoh Islam. Banyak tokoh-tokoh Islam tidak mau
kooperatif dengan pemerintah penjajah Jepang bahkan melakukan gerakan
bawah tanah misalnya dibawah pimpinan Sutan Syahrir dan Amir
Syarifuddin.
Selain itu, Jepang membubarkan organisasi-organisasi yang bersifat
politik atau yang membahayakan Jepang yang dibentuk semasa Belanda,
kemudian sebagai gantinya dibentuklah organisasi-organisasi baru
misalnya Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Cuo Sangi In (Badan pengendali
politik), Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa), Seinendan, Fujinkai,
Keibodan, Heiho, Peta dan lain-lain. Motif utama dibentuknya
organisasi-organisasi tersebut hanyalah sebagai kedok saja yang ternyata
untuk kepentingan penjajah Jepang juga. Namun bangsa kita sudah cerdas
justru organisasi-organisasi tersebut sebaliknya dimanfaatkannya untuk
melawan penjajah Jepang. Sebagai contoh adalah pembentukan tentara PETA
(Pembela Tanah Air) pada tanggal 3 Oktober 1943 di Bogor yang merupakan
cikal bakal adanya TNI. Terbentuknya memang atas persetujuan penjajah
Jepang yang didukung oleh para alim ulama. Tercatat sebagai pendirinya
adalah KH.Mas Mansur, Tuan Guru H. Yacob, HM.Sodri, KH.Adnan, Tuan guru
H.Kholid, KH.Djoenaedi, Dr.H.Karim Amrullah, H.Abdul Madjid dan U.
Muchtar. Mereka betul-betul memanfaatkan PETA ini untuk kepentingan
perjuangan bangsa. PETA saat itu terdiri dari 68 batalion yang
masing-masing dipimpin oleh para alim ulama. Para Bintaranya adalah para
pemuda Islam, dan panji-panji tentara PETA adalah bulan bintang putih
di atas dasar merah. Tanggal 5 Oktober 1945 terbentuklah BKR (Barisan
Keamanan Rakyat) yang sebagian besar pimpinannya adalah berasal dari
PETA. BKR kemudian menjadi TKR dan selanjutnya TNI. Jadi TNI tidak
mungkin ada jika PETA yang terdiri dari 68 bataliyon yang dipimpin oleh
para ulama tersebut tidak ada.
Namun ada beberapa organisasi bentukan Jepang yang sangat kentara
merugikan dan bahkan berbuat aniaya terhadap bangsa Indonesia. Misalnya
melalui Jawa Hokokai rakyat secara paksa untuk mengumpulkan padi,
permata, besi tua serta menanam jarak yang hasilnya harus diserahkan
kepada pemerintah pendudukan Jepang, pelecehan, penghinaan terhadap
agama Islam dan umat Islam sudah terang-terang. Maka umat Islam di
berbagai daerah bangkit menentang penjajah Jepang, diantaranya:
a. Pemberontakan Cot Pileng di Aceh
Perlawanan ini dipimpin oleh seorang ulama muda bernama Tengku Abdul
Jalil, guru ngaji di Cot Pileng pada tanggal 10 November 1942. Sebabnya
karena tentara Jepang melakukan penghinaan terhadap umat Islam Aceh
dengan membakar masjid dan membunuh sebagian jamaah yang sedang salat
subuh.
b. Pemberontakan Rakyat Sukamanah
Perlawanan ini dipimpin oleh KH. Zaenal Mustafa, pemimpin pondok
pesantren di Sukamanah Singaparna Tasik Malaya pada tanggal 25 februari
1944. Penyebabnya karena para santrinya dipaksa untuk melakukan
Seikirei, menghormat kepada kaisar Jepang dengan cara membungkukkan
setengah badan ke arah matahari. Ini tentu saja pelanggaran aqidah
Islam.
c. Pemberontakan di Indramayu
Perlawanan ini dipimpin oleh H. Madriyas. Sebabnya karena rakyat tidak tahan terhadap kekejaman yang dilakukan tentara Jepang.
d. Pemberontakan Teuku Hamid di Aceh
Perlawanan ini dipimpin oleh Teuku Hamid pada bulan November 1944.
e. Pemberontakan PETA di Blitar
Perlawanan ini dipimpin oleh seorang komandan Pleton PETA yang bernama
Supriadi pada tahun 14 Februari 1945 di Blitar, karena mereka tidak
tahan melihat kesengsaraan rakyat di daerah dan banyak rakyat yang
korban karena dikerjapaksakan (Romusha).
4. Sekutu dan NICA
Tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia baru saja diproklamirkan,
tanggal 15 september 1945 datang lagi persoalan baru, yaitu datangnya
tentara sekutu yang diboncengi NICA (Nederland Indies Civil
Administration). Mereka datang dengan penuh kecongkakan seolah-olah
paling berhak atas tanah Indonesia sebagai bekas jajahannya. Kedatangan
mereka tentu saja mendapat reaksi dari seluruh bangsa Indonesia. Seluruh
umat Islam bergerak kembali dengan kekuatan senjata seadanya melawan
tentara sekutu dan NICA yang bersenjatakan lengkap dan modern.
Perlawanan terhadap sekutu dan NICA antara lain: Dengan taktik perang
gerilya, pertempuran arek-arek Surabaya, Bandung lautan Api, pertempuran
di Ambarawa dan lain-lain.
Arsitek perang gerilya adalah Jendral Sudirman nama yang tidak asing
lagi bagi bangsa Indonesia. Beliau sebagai panglima besar TNI berlatar
belakang santri. Pernah jadi da’i atau guru agama di daerah Cilacap
Banyumas sekitar tahun 1936-1942. Berkarir mulai dari kepanduan Hizbul
Wathan dan aktif dalam pengajian-pengajian yang diadakan oleh
Muhammadiyah. Beliau pada sebagian hidupnya adalah untuk berjuang, dan
bahkan dalam kondisi sakit sekalipun beliau terus memimpin perang
gerilya ke hutan-hutan.
Sedangkan pertempuran arek-arek Surabaya dipimpin oleh Bung Tomo. Dengan
kumandang takbir, beliau mengobarkan semangat berjihad melawan tentara
Inggris di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Karena dahsyatnya
pertempuran tersebut, maka tanggal tersebut dikenang sebagai hari
pahlawan. Beliau tercatat pula dalam sejarah sebagai arsitek bom syahid.
Dalam kurun waktu perjuangan tahun 1945–1949 beliau membentuk pasukan
berani mati, yakni pasukan bom syahid yang siap mengorbankan jiwanya
untuk menghancurkan tentara sekutu dan Belanda.
Bandung lautan api adalah pertempuran dahsyat di Bandung Utara, kemudian
di Bandung Selatan dibawah pimpinan Muhammad Toha dan Ramadhan .
Situs Judi Sabung Ayam Online SV388 Terlengkap Terbaik Terpercaya - Bandar Taruhan Adu Ayam Online Uang Asli Rupiah Terbesar Permainan Sabung Ayam Online ini begitu gampang di tekuni yang cuma menebak taruhan
BalasHapusBoss Juga Bisa Kirim Via :
Wechat : Bolavita
WA : +6281377055002
Line : cs_bolavita
BBM PIN : BOLAVITA ( Huruf Semua )